Riba dalam agama Yahudi
Agama Yahudi melarang praktik pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud. Kitab Keluaran 22:25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.” Kitab Ulangan 23:19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.” Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya."Kitab Imamat 35:7 menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.” Kitab Ulangan 23:19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.” Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya."Kitab Imamat 35:7 menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
Konsep Bunga di Kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara
jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang
terdapat dalam Lukas
6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga. Ayat
tersebut menyatakan : “Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada
orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah
jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya
mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan
berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan
balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan
Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu
berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.” Ketidaktegasan ayat
tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari
para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen
mempraktikkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka
agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu
pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang
mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang
berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis
Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen
menghalalkan bunga. Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.“
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.“
Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk
masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani
oleh orang Kristen. St. Basil
(329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang
tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil
keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas
dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.
St. Gregory
dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktik bunga karena menurutnya
pertolongan melalui pinzaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti
membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak
sangat kejam. St. John Chrysostom
(344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian
Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut
Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir). St. Augustine
berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam
dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya
sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang
miskin. St. Anselm
dari Centerbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan.
Larangan praktik bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk
undang-undang (Canon): Council of Elvira
(Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja
gereja mem-praktikkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar,
maka pangkatnya akan diturunkan. Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktikkan pengambilan bunga. First Council of Nicaea
(tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para
pekerja gereja yang mempraktikkan bunga. Larangan pemberlakuan bunga
untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang
menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang
tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).
Pandangan Para Pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut
Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi
jumlah barang yang dipinjamkan. Mengambil bunga adalah suatu dosa yang
dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa.
Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya. Harga barang yang
ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang
terselubung.
Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI)
Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang
perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit
menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinzaman untuk memberi
modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII.
Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong
terwujudnya suku bunga pasar secara meluas. Para sarjana Kristen pada
masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata
yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru,
mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya,
menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap harta,
ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan
perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok.
Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan
pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus
dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury.
Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan
usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang
memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga
ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut : Niat
atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinzaman
adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan. Mengambil bunga dari pinzaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.
Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI - Tahun 1836)
Pendapat para reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 - 1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).
Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:
- Dosa apabila bunga memberatkan.
- Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles).
- Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi.
- Jangan mengambil bunga dari orang miskin.
Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise,
seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun
ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang
adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang
orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula,
agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan
bunga.
Pandangan Gereja Katolik
Menurut Gereja katolik pandangan mengenai Riba tidaklah berubah dengan pendapat para pendiri gereja seperti St.Gregorius dan St. John Chrysostom.
tetapi prinsip dari riba(bunga) itulah yang berubah, karena bila zaman
dahulu uang tidak bisa memberikan hasil kalau tidak dijalankan seperti
yang disebutkan oleh kitab matius 27:27 menyatakan:
"Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.”
"Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembaliku aku menerimanya serta dengan bunganya.”
Namun, pada zaman sekarang, uang dapat memberikan hasil, karena uang
dapat dibungakan atau di investasikan.Dengan demikian, meminjamkan uang
dengan “bunga yang pantas” bukanlah tindakan yang tidak adil. Namun,
kalau memberikan pinjaman dengan bunga yang terlalu tinggi, maka telah
dianggap berdosa karena melawan keadilan.
Namun,prinsip ini pun harus di laksanakan dengan
bijaksana.Misal,seseorang mempunyai uang 1 miliar dan seseorang meminjam
dari orang tersebut 1 juta rupiah, maka janganlah menarik bunga,
apalagi kalau orang yang meminjam benar-benar miskin. Bahkan kalau
perlu,pemilik uang itu harus memberikannya dengan rela. Namun bila
berada dalam situasi bisnis, maka adalah pantas, kalau menarik bunga
dari pinjaman yang diberikan sebab sudah adanya persetujuan dari kedua
pihak mengenai akan adanya bunga dari pinjaman tersebut. Seperti yang
dilalukan oleh pihak perbankan dan nasabahnya.
Sumber : (https://id.wikipedia.org/wiki/Riba)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar